Menyelamatkan Bahasa Betawi: Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik di Jakarta Selatan
Seperti yang kita ketahui, bahasa Betawi saat ini sedang mengalami pergeseran atau hampir masuk ke dalam kategori punah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam artikel “Penemuan Bahasa yang Hampir Punah” yang dimuat di surat kabar Tempo pada 18 Maret 2012, terdapat 756 bahasa daerah di Indonesia. Hal ini diatur dalam UU Pemerintahan Negara No. 22 Tahun 1999, yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah negara bagian untuk menangani bahasa dan sastra. Sekitar 30% bahasa daerah saat ini terancam punah di Indonesia, salah satunya adalah bahasa Betawi. Fenomena kepunahan bahasa daerah di Indonesia nampaknya menjadi isu yang menarik perhatian banyak sarjana, khususnya ahli bahasa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan bahasa daerah yang terancam punah. Tentu sangat masuk akal mengingat Indonesia memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Beberapa bahasa tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan sebagian lagi termasuk dalam rumpun bahasa non-Austronesia (Papua). Terkait hal ini, Sara mencari tau tentang kondisi kesehatan Bahasa Betawi saat ini. Dalam hal ini, Sara, Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Nasional melakukan penelitian guna mencari kebeneran terhadap isu-isu yang telah disebutkan. Dalam penelitiannya, Sara menggunakan dua teori untuk memecahkan masalah ini. Ia menggunakan teori sosiolinguistik dan sosial budaya.
Dalam kehidupan sosial, tidak mungkin seseorang hidup sendiri tanpa kehadiran atau keterlibatan orang lain. Seseorang mengekspresikan keberadaan, minat, dan pendapat mereka, untuk mempengaruhi orang lain demi keuntungan mereka sendiri, keuntungan kelompok, atau kebaikan bersama. Dalam arti luas, bahasa adalah alat komunikasi. Sosiolinguistik mempelajari bahasa dengan mempertimbangkan hubungannya dengan masyarakat, khususnya dengan penuturnya. Oleh karena itu, jelas bahwa Sosiolinguistik berfokus pada hubungan antara aspek linguistik dan aspek sosial sosiologi (Abdurrahman, 2011). Durkheim mengatakan bahwa budaya, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, memiliki kekuatan untuk menegaskan nilai solidaritas yang dapat diwujudkan melalui partisipasi individu dalam ritual atau budaya, artinya individu berpartisipasi dalam pelestarian dan pemeliharaan budaya tersebut.
Saat ini masyarakat Betawi hanya tersebar disekitar wilayah Jakarta, seperti Cengkareng, Tanah Abang, Srengseng Sawah dan Cempaka Putih. Nasib bahasa Betawi begitu memprihatinkan sehingga jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan, dikalangan masyarakat Betawi. Linguistik umum melihat bahasa sebagai sistem tertutup, sistem yang berdiri sendiri terlepas dari hubungannya dengan struktur masyarakat. Pada saat yang sama, dalam sosiolinguistik bahasa dipandang sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan struktur masyarakat yang tidak lepas dari karakteristik penutur dan nilai-nilai sosial budaya yang dianutnya oleh penutur itu sendiri.
Generasi yang lebih dulu mengenal bahasa Betawi harus memperkenalkannya kepada generasi selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan bahasa daerah, yaitu bahasa Betawi. Bahasa Betawi sudah lama tidak digunakan pada aktivitas keseharian. Bahasa Betawi ini hanya digunakan di beberapa kampung tertentu saja, dan digunakan pada saat pementasan budaya. Padahal, seharusnya bahasa Betawi ini tetap terus dijalankan dan disebarluaskan agar diketahui oleh masyarakat Jakarta. Tidak semua orang tahu dan mengerti kosakata bahasa Betawi. Hal tersebut sangat disayangkan. Dahulu, Jakarta bernama Batavia dan dihuni oleh masyarakat Betawi yang tersebar menjadi Betawi Pinggir, Betawi Udik, dan Betawi Tengah. Beribu-ribu kosakata dimiliki oleh bahasa Betawi. Namun, tidak semua orang tahu dan mengerti apa saja kosakata tersebut.
Peneliti mengambil sampel kosakata bahasa Betawi dari kamus bahasa Betawi sebanyak 572 kosakata yang ditulis dan disebar kepada 10 responden. Peneliti meminta para responden untuk mengisi arti dari kosakata tersebut. Hasil menunjukkan bahwa bahasa Betawi benar mengalami kepunahan. Hasil riset menunjukkan dari 10 narasumber, hanya ada 1 orang yang masih menggunakan bahasa Betawi dengan persentase 50%. Hasil riset terlihat jelas bahwa bahasa Betawi benar mengalami kepunahan. Jumlah persentase terkecil mencapai 5% dengan jumlah kosakata hanya 30 saja. Dari hasil riset yang dilakukan, diharapkan kepada masyarakat Jakarta untuk melestarikan bahasa Betawi. Tidak hanya itu, kepada Dinas Pendidikan Kota Jakarta diharapkan untuk mengadakan mata pelajaran bahasa Betawi guna mendidik dan mengedukasi anak-anak sejak usia dini.
Leave a Reply