Aneksasi dan Konflik Palestina-Israel: Tantangan dan Harapan untuk Perdamaian Berkelanjutan

Dalam berita terbaru dari Palestina, situasi konflik masih sangat membahayakan. Konflik berkepanjangan di wilayah ini telah menyebabkan banyak bom yang masih diledakkan oleh Israel, meningkatkan risiko bagi warga sipil. Dampak konflik tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat Palestina. Hancurnya infrastruktur yang mengakibatkan kelangkaan pasokan air bersih dan listrik telah memperparah penderitaan mereka.

Masyarakat Palestina menghadapi kesulitan besar dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan menerima bantuan kemanusiaan. Konflik yang masih berlangsung menjadi penghambat utama upaya penyelamatan dan pemulihan wilayah ini. Kondisi saat kini sangat menunjukkan perlunya tindakan yang tegas dan komitmen internasional untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.

Semangat alinea pertama UUD 1945 yang menyatakan, “Penjajahan di dunia harus segera dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan,” sangat relevan dalam konteks konflik Palestina-Israel. Penjajahan dan aneksasi adalah aspek kunci dari konflik ini, dan alinea ini menegaskan bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan harus menjadi landasan untuk mengakhiri penjajahan di dunia.

Prof. Sefriani, seorang pakar dalam sejarah konflik Palestina-Israel, mengungkapkan bahwa akar konflik ini dapat ditelusuri hingga Deklarasi Balfour tahun 1917. Deklarasi ini menjadi pemicu awal ketegangan, ketika Inggris berjanji memberikan “rumah” kepada rakyat Yahudi di Palestina. Komitmen ini mendorong gelombang besar imigrasi rakyat Yahudi ke wilayah Palestina, memperpanjang konflik tersebut.

Selanjutnya, pada tahun 1947, muncul Resolusi 181 yang mengusulkan gagasan pembagian wilayah menjadi dua negara. Namun, pembagian wilayah ini dianggap sangat tidak adil saat itu, dengan Palestina hanya mendapatkan 43,5% sementara Yahudi mendapat 56,5% dari seluruh tanah Palestina. Ini menciptakan ketidaksetaraan wilayah yang menjadi akar permasalahan utama dalam konflik Palestina-Israel, yang dikenal sebagai pencaplokan wilayah atau aneksasi.

Prof. Sefriani menekankan bahwa satu-satunya solusi yang dapat diterima dalam mengakhiri konflik ini adalah dengan menerapkan kembali gagasan dua negara, seperti yang diajukan pada awalnya, dengan pembagian wilayah 43,5% untuk Palestina dan 56,5% untuk Yahudi. Lebih lanjut, ia menganggap penting agar Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengawal secara tegas pelaksanaan Resolusi 181, yang mengusulkan pembagian wilayah menjadi dua negara, serta Resolusi 242 dan 338 yang juga berkaitan dengan konflik ini.

Dengan pendekatan ini, mungkin akan tercipta dasar yang kuat untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan di Palestina-Israel, mengakhiri aneksasi dan memberikan harapan bagi kedua belah pihak untuk hidup berdampingan dalam damai. Semoga komitmen internasional terhadap solusi perdamaian terus mendukung upaya ini.