Archives December 2023

PUBLIKASI JURNAL PSSN “Implementation of DKI Jakarta Provincial Regulation Number 4 of 2015 Concerning the Preservation of Betawi Culture (Case Study: Education Curriculum)”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara mengadakan riset kembali di Setu Babakan.

Berdasarkan Perda DKI Jakarta No 4 Tahun 2015tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi dalam kurikulum pendidikanmasih belum adanya pendidikan bahasa Betawi. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat Betawi yang tidak peduli bahkan kurang dalam melestarikan bahasa Betawi. Beberapa solusi yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut yaituMenyusun rencana induk pelestarianbahasa dan sastra Betawi. Tujuan: melakukan tinjauan studi pustakayang menelaah implementasi Perda Provinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015. Metode: studi pustaka ini menggunakan metode narrative review dengan menganalisis berbagai jurnal dari database online Garudadan Google Scholaryang berkaitan denganPerda Provinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015. Kesimpulan: Kurangnya kesadaran pejabat Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat akan pentingnya meneliti dan mensosialisasikan perlindungan bahasa Betawi.

Kota utama Indonesia, Jakarta adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis dan budaya. Nilainilai budaya daerah memainkan peran penting dalam sejumlah budaya nasional dan harus dilindungi undang-undang. Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi, khususnya bahasa Betawi, belum memenuhi aspek budaya, sehingga belum ditambahkan dalam kurikulum pendidikan muatan lokal. Untuk mencegah kepunahan bahasa Betawi khususnya di Jakarta, pemerintah khususnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta saat ini sedang memikirkan bagaimana menerapkan peraturan daerah yang memungkinkan bahasa Betawi diajarkan di sekolah-sekolah (Mustofa et al., 2020). 

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi Untuk Bahasa Betawi belum sepenuhnya mengimplementasikan seluruh aspek penerapan budaya bahasa dan sastra ke dalam kurikulum pendidikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi. Menurut penulis, hal ini mengakibatkan penggunaan bahasa dan sastra Betawi sangat terbatas di tengah pesatnya urbanisasi, pertumbuhan penduduk, percampuran budaya, akulturasi budaya, percepatan pembangunan Jakarta, dan westernisasi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat Betawi. Selain itu, bahasa Betawi tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan konten. budaya lokal, yang menyebabkan banyak generasi muda tidak mengenal bahkan melupakan bahasa Betawi sebagai generasi budaya lokal (Febriansyah, 2022).
 
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis tentang perlindungan bahasa Betawi oleh pemerintah DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang perlindungan budaya Betawi, ditemukan bahwa pemerintah daerah DKI Jakarta sangat masih bekerja keras untuk melestarikan bahasa dan sastra. Betawi dalam tahap koordinasi dengan pemangku kepentingan dari masyarakat Betawi dan dinas terkait yang bertanggung jawab untuk melaksanakan atau menegakkan Perda DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015. Memantau dan mengevaluasi pelestarian bahasa dan sastra Betawi dengan menambahkan berbagai tugas dan bekerja sama dengan berbagai elemen pemerintah DKI Jakarta, pemangku kepentingan, organisasi budaya dan masyarakat Jakarta secara keseluruhan. Berbagai inovasi baru juga dilakukan untuk mendukung pelestarian bahasa dan sastra Betawi guna memasukkan bahasa Betawi ke dalam kurikulum pendidikan muatan lokal.Kurangnya kesadaran pejabat Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat akan pentingnya meneliti dan mensosialisasikanperlindungan bahasa dan sastra Betawi, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan tentang perlindungan bahasa dan sastra Betawi antara pejabat dinas dan masyarakat. Jakarta. Untuk itu perlu disikapi secara serius oleh pemerintah setempat untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan bahasa Betawi yang sampai saat ini belum masuk dalam kurikulum pendidikan padahal sangat diperlukan karena pemuda atau pelajar merupakan kunci untuk mencapai retensi di tingkat sekolah dasar. dan tingkat pendidikan menengah bahasa Betawi, pemuda menjadi pewaris generasi penerus, bangsa dan budaya agar dapat bertahan hidup.RekomendasiMelalui penelitian ini diharapkan pembelajaran bahasa Betawi dapat diterapkan di setiap sekolah, baik di sekolah dasar maupun menengah. Menyusun rencana induk pelestarian bahasa dan sastra Betawi yang memuat rencana aksi khusus jangka pendek, menengah, dan panjang serta rencana strategis dalam rangka pelestarian bahasa dan sastra Betawi. Meningkatkan pelaksanaan perlindungan bahasa dan sastra Betawi yang meliputi unsur Pasal 9 Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Budaya Betawi Pendidikan, Pelestarian, Pengembangan, Pemanfaatan, Pemeliharaan dan Pembinaan, Pemantauan dan evaluasi melalui aparat atau aparat penegak hukum Perlindungan sekaligus terhadap bahasa dan sastra Betawi. Dan diharapkan pemerintah daerah tetap memperhatikan budaya Betawi, khususnya bahasa Betawi, untuk melestarikannya dan mencegah ancaman kepunahan.
 
 

PUBLIKASI JURNAL PSSN “The Effect of Service Quality and Promotion on Visiting Decisions at Betawi Cultural Villages”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara kembali melakukan riset di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan. Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan dan promosi terhadap keputusan berkunjung di Perkampungan Budaya Betawi. Penelitian ini menganalisis adakah pengaruh pelayanan dan promosi terhadap keputusan berkunjung calon wisatawan. Adapun metode yang dilakukan penulis yaitu metode deskriptif kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan tahap wawancara kepada salah satu kepala pengelola kawasan perkampungan budaya betawi. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pengelola perkampungan budaya betawi telah melakukan pelayanan dengan prima yaitu dengan melakukan pengunjung dengan ramah, memperlengkap segala fasilitas, tidak memungut biaya masuk, serta memberikan rasa aman dan nyaman dengan pelayanan dari para pegawainya. Selain itu promosi yang dilakukan cukup menarik yaitu dengan menggunakan media sosial.

PBB atau Perkampungan Budaya Betawi pernah mengalami penurunan pengunjung pada saat pandemi covid-19. Karena masyarakat terpaku dengan virus yang berbahaya, jadi jumlah pengunjung PBB menyusut. Selain itu, UPK PBB juga menerapkan sistem perbatasan. Jadi, pengunjung yang datang dibatasi setiap harinya. Dengan adanya peristiwa tersebut, maka UPK PBB membuat strategi untuk menarik keputusan pengunjung. Strategi yang dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan yang baru kepada calon pengunjung. Yang di mana, harapan dari adanya strategi ini adalah dapat menghasilkan kepuasan pengunjung. Tidak hanya itu, harapan lain adalah mereka juga bisa memberikan informasi kepada masyarakat yang ingin berkunjung ke sana.

Adapun pelayanan yang sekarang dilaksanakan oleh pihak UPK Perkampungan Budaya Betawi ya itu dengan menerima semua tamu tanpa pengecualian, petugas disanajuga sangat ramah mulai dari penjaga pintu masuk yang selalu mengarahkan para tamu, memberikan service yang baik kepada pegunjung, fasilitas yang memadai seperti misal toilet, mushola, atau tempat makan. Serta mereka membuat strategi dengan mengadakan tiket masuk secara gratis, mengadakan layanan hiburan masyarakat, dan layanan edukasi kebudayaan. Strategi ini dilakukan untuk mengembalikan lagi para pengunjung PBB. Kondisi pengunjung PBB pada saat ini berubah drastis. PBB sudah banyak didatangi lagi oleh para pengunjung.

dapun beberapa cara yang perlu dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan agar ideal dan dapat mempengaruhi keputusan berkunjung wisatawan yaitu melalui indikator kualitas pelayanan :

  1. Realibility (Keandalan)
  2. Responsive (Ketanggapan)
  3. Tangible (Berwujud)
  4. Empathy (Empati)
  5. Assurance (Jaminan)

UPK PBB telah menerapkan strategi promosi dan pelayanan yang baik, sehingga dapat memulihkan kembali jumlah pengunjung PBB. Kualitas pelayanan dan promosi di Perkampungan Budaya Betawi sangat memberikan pengaruh besar terhadap keputusan para pengunjung. Dengan adanya strategi promosi dan pengelolaan yang baik, calon pengunjung akan tertarik dengan lokasi dan seluruh bagian yang ditawarkan. Dari penjelasan pihak pengelola perkampungan budaya betawi ini menurut penulis sudah cukupmenjanjikan bagi para calon pengunjung untuk mereka datangi. Keramahan para pekerja, kerapihan penampilan para pekerja, dan fasilitas yang diberikan sudah penulis rasakan sendiri. Adanya peningkatan kualitas pelayanan ini adalah salah satu cara untuk pihak UPK Perkampungan Budaya Betawi melestarikan kebudayaan-kebudayaan betawi sebagai salah satu suku yang fenomenal di Ibu Kota ini, peningkatan tidak hanya dari pelayanan saja tetapi dari segi infrastruktur dan sara prasarana sedang dalam tahap perkembanganlebih lanjut guna dapat menarik calon pengunjung lebih banyak. Tidak lepas dari itu saja, dalam sesi wawancara pengelola menjelaskan bahwa mereka akan menyaring para umkm disana agar keseluruhan penjual itu menjual apapun yang bercirikhas betawi. Ini dilakukan agar memperkental unsur kebudayaan betawi di kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Pembuatan sekolah kesenian juga digadang-gadangkan akan dibentuk dalam beberapa tahun kedepan oleh pihak pengelola.

Jurnal ini dapat diakses melalui link https://journal.formosapublisher.org/index.php/fjsr/article/view/3516/3146

 

PUBLIKASI JURNAL PSSN “The Existence of Palang Pintu Culture in the Opening Procession of Betawi Traditional Weddings (Case Study: George Herbert Mead’s Symbolic Interactionism)”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara melakukan riset kedua di Setu Babakan. Kali ini, riset yang dilakukan mengenai kebudayaan adat Betawi.

Riset ini menganalisis bagaimana eksistensi kebudayaan palang pintu Betawidan pemahaman makna penggunaan palang pintu dalam acara pernikahan adat Betawi.Tujuandari penelitian ini adalah untuk mencari strategi pemulihan budaya palang pintuadat Betawi.Teori yang digunakan adalah teori interaksi simbolik George Herbert Mead. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode penelitian kualitatif Cresswell, J.W. Sifatpenelitian ini adalah deskriptif.Dengan menggunakan metode kuisionersebagai pengumpulan data.Hasil yang diperoleh adalah penjelasanbagaimana eksistensi kebudayaan palang pintu sebagai pembuka dalam acara adat Betawi.Serta bagaimanastrategi yang dapat dilakukan untuk pemulihan budaya Betawi yang hampir punah.

 
Kelompoketnis Betawi memiliki keragaman bahasa, budaya, dan kulturyang luas. Keberagaman budaya ini menimbulkan perspektif, interpretasi, danpemahamanyang berbeda tentang penduduk asli Betawi. Salah satu budaya dan siklus kehidupan yang sangat penting dalam masyarakat Betawi adalah upacara perkawinan. Upacarasendirididefinisikan sebagai perilaku resmi yang dilakukan untuk menandai peristiwayang tidak diarahkan pada aktivitas kegiatan sehari-hari, melainkan terkait dengan kepercayaan di luar kendali manusia. Oleh karena itu, padasetiap pernikahankeduamempelai tampil dengan cara yang istimewa, lengkap dengan rias wajah, sanggul, dan gaun sesuai dengan keutuhan adat pranikah dan pascanikah(Purbasari, 2010). Karena seseorang sudah memulai ritual selama masa transisi, sejak saat ituia mengambil hak dan kewajiban penuh terhadap masyarakat dan budayanya. Ia mulai diikutsertakan dalam acara-acara masyarakat, khususnya dalam upacara-upacara adat, sebagai suami atau istri. Adat istiadat merupakan suatu hal yang lazim dalam suatu negeridan berfluktuasi dengan keadaan masyarakat (Yaniek Ichtiar Ma’rifa, 2019).
 
Dari 50 responden data yang diambil dinyatakan terdapat 30 orang yang menggunakan palang pintu dalam acara pernikahannya. Diantara 30 orang tersebut ada2 orang yang bukan masyarakat asli. Hal ini berarti budaya palang pintu Betawi tidak hanya digunakan oleh masyarakat Betawi asli saja. Tetapi, bisa juga oleh masyarakat pendatang atau suku lainnya. Tentunya hal ini memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai makna penggunaan palang pintu dalam pembuka acara pernikahan. Bedasarkan penjelasansebelumnya diketahui bahwa ada satu tradisi yang mirip dengan Palang Pintu, yaituberebutDandang. Perbedaannya ada penambahan skenario perebutan dandang dari tembaga untuk menentukan siapa yang menang. Yang membawa dandang adalah pihak pria bersamaan dengan seserahan lainnya. Pada intinya, palang pintu Betawi tengah dengan Betawi timur ini memiliki arti mendasar yang sama. Hanya ada penambahan makna dalam bentuk media dandang. Dandang tembaga melambangkan kekuatan dan kemakmuran. Jika dilihat dari sudut demografis, argumen tentang dandang dipengaruhi oleh adat budaya Sunda. Hasil kuisioner menunjukan bahwa masih banyak masyarakat asli maupun pendatang belum memahami makna dari palang pintu tersebut. Bedasarkan diagram pada analisis data sebanyak 32% masyarakat tidak memahami makna dari palang pintu tersebut, dan sebanyak 68% masyarakat memahami maknanya. Tentunya, masing-masing mereka memiliki pendapat yang berbeda mengenai maknapalang pintu tersebut. Sebanyak 34 responden yang memahami makna palang pintu ini terdiri dari 19 masyarakat asli Betawi dan 15 orang diluar masyarakat Betawi. George Herbert Mead mendefinisikan interaksionisme simbolik sebagai gagasan bahwa interaksi sosial terjadi sebagai akibat dari penggunaan simbol-simbol yang bermakna. Simbol-simbol tersebut dapat menimbulkan asosiasi yang dapat menimbulkan interaksi antara orang lain (Alisa, 2021).
 
Tradisi Palang Pintu merupakan salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Betawi Jakarta. Tradisi ini sudah menjadi bagian dari prosesi pernikahan adat Betawi sejak zaman nenek moyang kita. Melalui kajian ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran generasi mendatang untuk menjaga keaslian dan kekayaan budaya tradisional agar tidak punah atau tergerus oleh seni rupa progresif maupun media modern. Dengan demikian, seni budaya Betawi akan dikenal luas dan akan terus hidup dalam proses modernisasi yang terus berkembang. Inisiatif utama yang harus ditempuh antara lain, upaya pelestarian budaya melalui perencanaan metodis dan strategi pengelolaan, pengemasan produk budaya yang menarik dan relevan, serta sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat di tingkat nasional dan internasional guna melestarikan budaya dan memajukan masyarakat.
Ada beberapastrategi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kebudayaan Palang Pintu adat Betawi ini:
  • Promosi kegiatan
  • Mengembangkan Pendidikan budaya Betawi
  • Mengadakan festival kebudayaan setiap tahun
Bedasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa makna Palang Pintu dalam pernikahan Betawi ada dua, yaitu ketika seorang laki-laki akan menikah dia harus bisa mengurus istri dan anaknya, karena laki-laki di rumah adalah kepala keluarga dan harus melindungi keluarganya dari bahaya. Oleh karena itu, mempelai laki-laki diibaratkan sebagai laki-laki yang harus mahir dalam ilmu silat. Palang Pintu merupakan adat yang berasal dari zaman dahulu dan digunakan untuk menilai ilmu mempelai pria.Orang Betawi menggunakannya untuk mengukur seberapa serius calon mempelai pria menjalani upacara pernikahan adat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan budaya Betawi tetap ada di sekitar lingkungan Jakarta, meskipun belum sepenuhnya meratadi kalangan masyarakat asli dan pendatang. Disadari atau tidak, globalisasi dan maraknya multikulturalisme di ibu kota saat ini menggerus eksistensi budaya Betawi. Oleh karena itu, untuk melestarikan nilai-nilai budaya Betawi yang diwariskan nenek moyang, hal ini perlu diantisipasi sedini mungkin dengan solusi yang tepat untuk mempertahankan budaya tradisional Betawi. Ada beberapa strategi untuk melestarikan dan memulihkan budaya Palang Pintu Betawi, seperti memasukkan unsur budaya dalam setiap kegiatan, mengadakan pameran budaya Betawi, mengekspor karya seni, melakukan promosi kegiatan, mengembangkan pendidikan budaya Betawi, dan mengadakan festival kebudayaan setiap tahun.
 
 

 

 

PUBLIKASI JURNAL PSSN “Health Vitality of the Betawi Language in the Future in Jakarta: A Sociolinguistic Study”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara telah melakukan riset di Setu Babakan. Telitian ini menganalisis penggunaan bahasa Betawi di wilayah Jakarta. Tujuannya adalah untuk mengetahui vitalitas kesehatan bahasa Betawi di waktu yang akan datang, faktor penyebab bahasa Betawi terancam punah, dan solusi untuk menjaga eksistensi bahasa Betawi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Sosiolinguistik, dan teori pendukung Sosiologi Budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix metode, yaitu langkah yang memadukan dua bentuk penelitian yang telah ada sebelumnya (kualitatif dan kuantitatif). Penelitian ini menggunakan teknik observasi dan kuesioner (angket). Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dengan observasi dan melibatkan pencatatan perilaku subjek. Teknik kuesioner (angket) adalah daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang diselidiki. Hasil yang diperoleh adalah perhitungan penggunaan bahasa Betawi saat ini.

Seperti yang kita ketahui saat ini, bahasa Betawi terlihat sudah hampir mencapai difase “punah”. Karena, sudah jarang sekali kita menemukan seseorang atau kelompok yang menggunakan bahasa Betawi secara intens. Namun, ada lagi praanggapan yang menyatakan bahwa bahasa Betawi belum dinyatakan “punah”, karena masih banyak yang menggunakannya. Di Jakarta, sudah banyak sekali budaya-budaya asing yang masuk dan meracuni para pemuda penerus budaya. Hal ini, menyebabkan terjadinya penyimpangan budaya yang dapat mengakibatkan pengikisan bahkan sampai kepada kepunahan suatu budaya itu sendiri. Sebagai bangsa yang bernasionalisme dengan mencintai budaya sendiri, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan budaya tersebut.

Pada kesempatan kali ini, peneliti melakukan observasi di tiga wilayah Jakarta, yaitu Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan. Hasil penelitian membuktikan bahwa bahasa Betawi masih sering digunakan di wilayah tersebut. Dari 26 responden, 21 orang masih sering menggunakan bahasa Betawi. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan 80,8% masyarakat Jakarta masih sering menggunakan bahasa Betawi. Masyarakat yang tidak sering atau jarang menggunakan bahasa Betawi ditunjukkan dalam persentase angka sebesar 19,2%. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Betawi di Jakarta belum dikatakan “punah”, karena masih ada penutur yang menggunakan bahasa tersebut. Ternyata, setelah melakukan observasi, penggunaan bahasa Betawi ini masih sering digunakan di dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, penutur yang seperti ini, bertempat tinggal disekitar orang-orang yang masih kental dengan budaya. Dalam arti, mereka tinggal di dalam perkampungan Betawi atau sebagainya. Jadi, mereka akan terus mengikuti alur budaya yang diterapkan dalam lingkungannya. Ada pula yang menggunakannya pada saat bergaul saja. Hal ini dilakukan karena mereka sering menggunakannya pada saat bertemu dengan kerabat sebayanya. Mereka menggunakan bahasa Betawi agar terlihat asik, karena pembawaan bahasa Betawi ini sangatlah santai. Adapula masyarakat yang jarang menggunakannya. Biasanya, penutur yang seperti ini merasa bahwa bahasa Betawi ini sama seperti bahasa Indonesia, dan mereka lebih terbiasa menggunakan bahasa gaul.

 
Kesimpulannya adalah kondisi vitalitas kesehatan bahasa betawi pada waktu yang akan datang masih bisa dikatakan sehat. Karena, semakin berjalannya waktu, bahasa Betawi ini akan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Bahasa daerah tidak akan punah jika masih ada penutur yang bisa mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan para tokoh betawi di perkampungan budaya Betawi Setu Babakan. Para penutur asli inilah yang akan mewariskan budaya Betawi melalui berbagai cara, seperti penampilan budaya Betawi, ekskul bahasa Betawi, dan lain sebagainya.