Archives June 2024

Mahasiswa Sebagai Agent of Change dalam Menjaga Kelestarian Budaya di Era Digital dengan Memanfaatkan Modal Sosial Masyarakat

Mahasiswa yang merupakan aset bagi bangsa memiliki kepentingan untuk melakukan  perubahan. Mahasiswa memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dengan mempelajari  berbagai bidang keilmuan dan keterampilan. Mahasiswa merupakan agent of change, yang artinya individu – individu yang melakukan tindakan katalis atau pemicu perubahan yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Juga merupakan individu – individu yang bersemangat dalam mendorong individu lainnya serta memiliki keberanian menantang status quo sebagai upaya perubahan. 

Perubahan yang terjadi pada semua bidang kehidupan menjadi sangat cepat dan signifikan, sehingga perubahan sosial hendaknya sejalan dengan perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Perubahan sosial yang terjadi merupakan hal yang pasti karena tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Agent of change merupakan individu yang membantu dalam melakukan perubahan. Dimana seorang agen perubahan akan menghubungkan objek perubahan seperti inovasi, kebijakan publik, dan lainnya menggunakan sistem sosial untuk melakukan perubahan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi menjadi unsur utama dalam perubahan. Hal ini berkaitan dengan unsur – unsur yang ada di masyarakat yaitu sosial, budaya, ekonomi, serta politik. Sehingga yang menjadi perhatian disini adalah kaitannya dengan budaya. Budaya yang sudah ada sedari zaman nenek moyang perlu diperhatikan akan perubahan – perubahan disekitarnya yang tentu saja akan mempengaruhi kelangsungan budaya tersebut. Mahasiswa dalam hal ini membersamai kebudayaan dalam upaya pelestarian. Mengingat mahasiswa merupakan agen perubahan yang tentunya tidak hanya melakukan perubahan yang sia – sia, tetapi melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan dan pelestarian dari budaya dengan memanfaatkan modal sosial yang ada disekitar mereka alias lingkungan masyarakat.

Berangkat dengan Teori Modal Sosial yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, mahasiswa sebagai pemeran utama dalam implementasinya. Terdapat dua hal yang menjadikan pemikiran Bourdieu menarik banyak orang, yakni terkait usahanya dalam mengatasi permasalahan dikotomi individu – masyarakat, agen – struktur sosial, dan kebebasan – determinisme. Maka pada akhirnya disebut sebagai strukturalisme genetis, strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme strukturalis. Bourdieu mengemukakan konsep utamanya yaitu habitus, modal, dan arena (field) untuk menyingkap dominasi di dalam masyarakat, yakni mencari tahu kepemilikan atau akumulasi kepemilikan modal dari masing – masing anggota masyarakat.

Modal sosial berhubungan dekat dengan habitus yang merupakan sebab – sebab dalam pengganda modal secara khusus modal simbolik. Modal sosial menurutnya direalisasikan melalui hubungan – hubungan dan jaringan hubungan – hubungan yang menjadi sumber daya dengan manfaat untuk penentuan dan reproduksi kedudukan – kedudukan sosial. Modal sosial tersebut telah dipunyai oleh pelaku (individu atau kelompok) yang berhubungan dengan pihak lain yang memiliki kekuasaan. Kebudayaan yang beriringan dengan digitalisasi menjadi perhatian khusus bagi setiap unsur masyarakat. Bahkan mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam kebudayaan tersebut, apalagi mahasiswa merupakan individu yang tentu saja memiliki andil dalam digitalisasi juga. Budaya yang tentu saja merupakan instrumen yang sakral dan dulunya banyak yang tidak mengetahui keberadaannya, tentu menjadi mudah bagi semua individu untuk mengetahuinya sekarang. Hal tersebut dikarenakan media yang berperan langsung dalam penyebarannya, namun yang menjadi kekhawatiran adalah adaptasi – adaptasi dari media terhadap budaya yang kerap kali tidak di filter dengan baik oleh sebagian orang. 

Mahasiswa memiliki power dalam mempengaruhi lingkungannya dengan cepat, apalagi ada media atau teknologi yang mereka bawa kemana saja. Sehingga, suatu keniscayaan bahwa mahasiswa dapat melakukan perubahan hanya menggunakan teknologi. Dengan ini dimaksudkan bahwa teknologi dan peran mahasiswa dapat membawa perubahan dan perbaikan sebagai upaya pelestarian kebudayaan untuk mengarah pada dampak positif. Tentunya peran mahasiswa bukan sekedar melalui teknologi, namun peran secara fisik dalam memberikan arahan bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat dalam bidang sosial bahkan ekonomi sekalipun.  

Degradasi Bahasa Betawi di Masa Perkembangan Zaman

(Sumber : kompas.id/Dhanang David Aritonang)

Dilansir dari berita yang diterbitkan oleh KOMPAS.id mengenai ancaman penggusuran wilayah-wilayah Betawi dan bagaimana bahasa Betawi yang semakin terlupakan oleh generasi-generasi muda. Juga upaya untuk melestarikan bahasa betawi dengan menerbitkan karya sastra dengan menggunakan bahasa Betawi. Semua pembahasan akan berpaku pada pembukaan acara diskusi buku Pendekar Bahasa dan Budaya, di Bentara Budaya Jakarta. 

Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Chaer yang merupakan penulis serta ahli linguistik, menurutnya, kampung-kampung Betawi yang mulai tergusur merupakan alasan utama bahasa betawi menjadi memudar. Hal tersebut dikarenakan masyarakat aslinya yang mulai berpindah tempat dan memulai kehidupan di wilayah baru, seperti ke wilayah Bogor dan Karawang. Abdul Chaer melakukan pencariannya untuk menggali sejauh mana bahasa Betawi diketahui oleh masyarakat DKI Jakarta. Ia memulai pencariannya dengan menjelajahi wilayah Cibarusa sampai Citeureup, dari sekitaran Karet sampai Tanah Abang dengan obrolan-obrolan yang dilontarkan kepada masyarakat untuk mengetahui kosakata dalam bahasa Betawi. Sedikitnya, masyarakat hanya mengetahui bahasa Betawi dasar dan beberapa menyebutkan dalam bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. 

Masyarakat menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa percakapan, di mana hanya digunakan pada sesama betawi saja. Di lain orang yang bukan Betawi, mereka tidak akan menggunakan bahasa Betawi. Pendatang yang notabene nya masyarakat luar betawi kerap kali mengasingkan bahasa Betawi dalam percakapannya. Hal tersebut semakin membuat bahasa Betawi terpinggirkan. 

Dalam agenda lain, bahasa Betawi dikenal oleh beberapa masyarakat luar wilayah Betawi, seperti Bogor dan Karawang. Ini adalah akibat dari penggusuran wilayah di DKI Jakarta. Sehingga, tidak harus menjadi ketakutan besar bahwa bahasa Betawi akan punah. Karena pada konteks ini, masyarakat Betawi hanya melupakan beberapa kosakata Betawi saja. Penggunaan kata “elo gue” dan imbuhan -in juga masih dilafalkan oleh orang Betawi, bahkan pendatang dari daerah lain juga mulai mengadaptasi ke dalam bahasa keseharian mereka. 

Pernyataan lain diungkapkan oleh Muhadjir, yang merupakan ahli linguistik. Menurutnya, bahasa Betawi memiliki keragaman kosakata dan masih menjadi perdebatan dengan dialeknya yang dianggap sebagai bahasa Melayu dengan dialek Jakarta. Berdasarkan dialek, bahasa Betawi memiliki keragaman yang digunakan dalam wayang kulit Betawi, teater lenong dan topeng. Sekitar tahun 1911, ada warga keturunan Arab di Jakarta yang menulis karya sastra menggunakan bahasa Betawi. Dari hal tersebut, karya-karya sastra mulai berkembang dan bervariasi seperti karya tentang Nyi Saidah yang termuat dalam koran Melayu di Batavia tempo dulu. Cerita Panji dalam Sastra Pecenongan oleh Muhammad Bakir, juga siaran televisi yang berjudul Si Pitung dengan ciri khasnya menggunakan dialog bahasa Betawi. 

Dari hal ini, menurut Ivan Lanin, perlu pemerhatian dari masyarakat mengenai slogan yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. 

Facebook
LinkedIn
WhatsApp
X
Telegram