Eksistensi Budaya Palang Pintu dalam Pembukaan Pernikahan Adat Betawi: Analisis Melalui Perspektif Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Kelompok etnis Betawi memiliki keragaman budaya yang luas, menghasilkan berbagai perspektif tentang penduduk asli Betawi. Upacara perkawinan merupakan salah satu budaya penting yang menandai peristiwa khusus dan kepercayaan spiritual. Dalam setiap pernikahan adat, kedua mempelai tampil dengan riasan dan busana khas, menandai masa transisi mereka dalam mengambil hak dan kewajiban penuh terhadap masyarakat. Adat istiadat ini merupakan hal yang lazim dan dapat berfluktuasi sesuai dengan kondisi masyarakat. Adat istiadat ini merupakan hal yang umum dan dapat berubah sesuai dengan kondisi masyarakat.
Berdasarkan hasil jurnal penelitian yang dilakukan oleh Sari Tri Anjani, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat dan pemahaman terhadap nilai-nilai adat Betawi serta apakah tradisi tersebut masih terus dipraktikkan oleh mereka yang tinggal di kawasan Kampung Budaya Betawi dan sekitarnya. Tradisi ini biasanya berkaitan dengan pertunjukan seni dan budaya setempat, seperti acara pertunjukan randai, saluang, rabab, tarian, dan berbagai kesenian yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Tradisi pernikahan semacam ini sangat bergantung pada iklim sosial ekonomi lingkungan sekitar. Pada pembahasan kali ini, objek tradisi pernikahan adat Betawi yang akan dibahas, yaitu palang pintu.
(Sumber: https://www.senibudayabetawi.com/wp-content/uploads/2021/12/1639376899781-scaled.jpg)
Dari 50 responden yang diteliti, 30 orang menggunakan palang pintu dalam acara pernikahan mereka, didalamnya termasuk 2 orang yang bukan masyarakat asli Betawi. Ini menunjukkan bahwa budaya palang pintu Betawi tidak hanya digunakan oleh masyarakat asli Betawi, tetapi juga oleh pendatang atau suku lain. Meskipun demikian, terdapat perbedaan persepsi mengenai makna penggunaan palang pintu dalam pembukaan acara pernikahan. Menurut teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead, interaksi sosial terjadi melalui penggunaan simbol-simbol yang bermakna, yang dapat menimbulkan asosiasi dan interaksi antarindividu.
Menurut George Herbert Mead, tindakan manusia dipengaruhi oleh interpretasi mereka terhadap orang lain, objek, dan peristiwa. Tradisi Palang Pintu adalah bentuk interaksi simbolik, di mana setiap langkah dan gerakan memiliki makna khusus bagi pelaku dan penonton. Meskipun tradisi ini telah mengalami modifikasi dan digunakan oleh suku selain Betawi, makna aslinya tetap dipertahankan. Analisis data menunjukkan bahwa baik masyarakat asli Betawi maupun pendatang memahami makna Palang Pintu, menunjukkan bahwa budaya Betawi tetap eksis di era globalisasi ini, meskipun belum sepenuhnya merata. Untuk melestarikan budaya Betawi di tengah multikulturalisme dan globalisasi, diperlukan strategi yang tepat sejak dini.
Kesimpulannya, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kebudayaan Palang Pintu adat Betawi:
- Promosi kegiatan: Menggunakan media sosial untuk memperkenalkan Budaya Palang Pintu dengan menyediakan konten menarik dan memanfaatkan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Selain itu, ikut serta dalam event-event kebudayaan tertentu juga dapat menjadi sarana promosi yang efektif.
- Pengembangan Pendidikan budaya Betawi: Mengembangkan pendidikan budaya Betawi dapat membantu masyarakat untuk memahami makna penggunaan palang pintu dan simbol-simbol dalam pernikahan Betawi, serta mendorong siswa untuk lebih memahami dan melestarikan budaya tersebut.
- Mengadakan festival kebudayaan setiap tahun: Dengan mengadakan festival kebudayaan setiap tahun, masyarakat atau pengunjung dapat lebih mengenal kebudayaan Palang Pintu Betawi, sehingga memperkuat eksistensi dan pemahaman tentang budaya tersebut.