Eksistensi Budaya Palang Pintu dalam Pembukaan Pernikahan Adat Betawi: Analisis Melalui Perspektif Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead

Kelompok etnis Betawi memiliki keragaman budaya yang luas, menghasilkan berbagai perspektif tentang penduduk asli Betawi. Upacara perkawinan merupakan salah satu budaya penting yang menandai peristiwa khusus dan kepercayaan spiritual. Dalam setiap pernikahan adat, kedua mempelai tampil dengan riasan dan busana khas, menandai masa transisi mereka dalam mengambil hak dan kewajiban penuh terhadap masyarakat. Adat istiadat ini merupakan hal yang lazim dan dapat berfluktuasi sesuai dengan kondisi masyarakat. Adat istiadat ini merupakan hal yang umum dan dapat berubah sesuai dengan kondisi masyarakat.

Berdasarkan hasil jurnal penelitian yang dilakukan oleh Sari Tri Anjani, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat dan pemahaman terhadap nilai-nilai adat Betawi serta apakah tradisi tersebut masih terus dipraktikkan oleh mereka yang tinggal di kawasan Kampung Budaya Betawi dan sekitarnya. Tradisi ini biasanya berkaitan dengan pertunjukan seni dan budaya setempat, seperti acara pertunjukan randai, saluang, rabab, tarian, dan berbagai kesenian yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Tradisi pernikahan semacam ini sangat bergantung pada iklim sosial ekonomi lingkungan sekitar. Pada pembahasan kali ini, objek tradisi pernikahan adat Betawi yang akan dibahas, yaitu palang pintu.

(Sumber: https://www.senibudayabetawi.com/wp-content/uploads/2021/12/1639376899781-scaled.jpg)

Dari 50 responden yang diteliti, 30 orang menggunakan palang pintu dalam acara pernikahan mereka, didalamnya termasuk 2 orang yang bukan masyarakat asli Betawi. Ini menunjukkan bahwa budaya palang pintu Betawi tidak hanya digunakan oleh masyarakat asli Betawi, tetapi juga oleh pendatang atau suku lain. Meskipun demikian, terdapat perbedaan persepsi mengenai makna penggunaan palang pintu dalam pembukaan acara pernikahan. Menurut teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead, interaksi sosial terjadi melalui penggunaan simbol-simbol yang bermakna, yang dapat menimbulkan asosiasi dan interaksi antarindividu.

Menurut George Herbert Mead, tindakan manusia dipengaruhi oleh interpretasi mereka terhadap orang lain, objek, dan peristiwa. Tradisi Palang Pintu adalah bentuk interaksi simbolik, di mana setiap langkah dan gerakan memiliki makna khusus bagi pelaku dan penonton. Meskipun tradisi ini telah mengalami modifikasi dan digunakan oleh suku selain Betawi, makna aslinya tetap dipertahankan. Analisis data menunjukkan bahwa baik masyarakat asli Betawi maupun pendatang memahami makna Palang Pintu, menunjukkan bahwa budaya Betawi tetap eksis di era globalisasi ini, meskipun belum sepenuhnya merata. Untuk melestarikan budaya Betawi di tengah multikulturalisme dan globalisasi, diperlukan strategi yang tepat sejak dini.

Kesimpulannya, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kebudayaan Palang Pintu adat Betawi:

  • Promosi kegiatan: Menggunakan media sosial untuk memperkenalkan Budaya Palang Pintu dengan menyediakan konten menarik dan memanfaatkan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Selain itu, ikut serta dalam event-event kebudayaan tertentu juga dapat menjadi sarana promosi yang efektif.
  • Pengembangan Pendidikan budaya Betawi: Mengembangkan pendidikan budaya Betawi dapat membantu masyarakat untuk memahami makna penggunaan palang pintu dan simbol-simbol dalam pernikahan Betawi, serta mendorong siswa untuk lebih memahami dan melestarikan budaya tersebut.
  • Mengadakan festival kebudayaan setiap tahun: Dengan mengadakan festival kebudayaan setiap tahun, masyarakat atau pengunjung dapat lebih mengenal kebudayaan Palang Pintu Betawi, sehingga memperkuat eksistensi dan pemahaman tentang budaya tersebut.

 

Eksistensi Budaya Palang Pintu dalam Pembukaan Pernikahan Adat Betawi: Analisis Melalui Perspektif Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead

Kelompok etnis Betawi memiliki keragaman budaya yang luas, menghasilkan berbagai perspektif tentang penduduk asli Betawi. Upacara perkawinan merupakan salah satu budaya penting yang menandai peristiwa khusus dan kepercayaan spiritual. Dalam setiap pernikahan adat, kedua mempelai tampil dengan riasan dan busana khas, menandai masa transisi mereka dalam mengambil hak dan kewajiban penuh terhadap masyarakat. Adat istiadat ini merupakan hal yang lazim dan dapat berfluktuasi sesuai dengan kondisi masyarakat. Adat istiadat ini merupakan hal yang umum dan dapat berubah sesuai dengan kondisi masyarakat.

Berdasarkan hasil jurnal penelitian yang dilakukan oleh Sari Tri Anjani, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat dan pemahaman terhadap nilai-nilai adat Betawi serta apakah tradisi tersebut masih terus dipraktikkan oleh mereka yang tinggal di kawasan Kampung Budaya Betawi dan sekitarnya. Tradisi ini biasanya berkaitan dengan pertunjukan seni dan budaya setempat, seperti acara pertunjukan randai, saluang, rabab, tarian, dan berbagai kesenian yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Tradisi pernikahan semacam ini sangat bergantung pada iklim sosial ekonomi lingkungan sekitar. Pada pembahasan kali ini, objek tradisi pernikahan adat Betawi yang akan dibahas, yaitu palang pintu.

(Sumber : https://images.app.goo.gl/gLbBuxiVopHTPxgt6)

Dari 50 responden yang diteliti, 30 orang menggunakan palang pintu dalam acara pernikahan mereka, didalamnya termasuk 2 orang yang bukan masyarakat asli Betawi. Ini menunjukkan bahwa budaya palang pintu Betawi tidak hanya digunakan oleh masyarakat asli Betawi, tetapi juga oleh pendatang atau suku lain. Meskipun demikian, terdapat perbedaan persepsi mengenai makna penggunaan palang pintu dalam pembukaan acara pernikahan. Menurut teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead, interaksi sosial terjadi melalui penggunaan simbol-simbol yang bermakna, yang dapat menimbulkan asosiasi dan interaksi antarindividu.

Menurut George Herbert Mead, tindakan manusia dipengaruhi oleh interpretasi mereka terhadap orang lain, objek, dan peristiwa. Tradisi Palang Pintu adalah bentuk interaksi simbolik, di mana setiap langkah dan gerakan memiliki makna khusus bagi pelaku dan penonton. Meskipun tradisi ini telah mengalami modifikasi dan digunakan oleh suku selain Betawi, makna aslinya tetap dipertahankan. Analisis data menunjukkan bahwa baik masyarakat asli Betawi maupun pendatang memahami makna Palang Pintu, menunjukkan bahwa budaya Betawi tetap eksis di era globalisasi ini, meskipun belum sepenuhnya merata. Untuk melestarikan budaya Betawi di tengah multikulturalisme dan globalisasi, diperlukan strategi yang tepat sejak dini.

Kesimpulannya, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kebudayaan Palang Pintu adat Betawi:

  • Promosi kegiatan: Menggunakan media sosial untuk memperkenalkan Budaya Palang Pintu dengan menyediakan konten menarik dan memanfaatkan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Selain itu, ikut serta dalam event-event kebudayaan tertentu juga dapat menjadi sarana promosi yang efektif.
  • Pengembangan Pendidikan budaya Betawi: Mengembangkan pendidikan budaya Betawi dapat membantu masyarakat untuk memahami makna penggunaan palang pintu dan simbol-simbol dalam pernikahan Betawi, serta mendorong siswa untuk lebih memahami dan melestarikan budaya tersebut.
  • Mengadakan festival kebudayaan setiap tahun: Dengan mengadakan festival kebudayaan setiap tahun, masyarakat atau pengunjung dapat lebih mengenal kebudayaan Palang Pintu Betawi, sehingga memperkuat eksistensi dan pemahaman tentang budaya tersebut.

Etika Dan Perilaku Masyarakat Indonesia Dalam Menggunakan Media Sosial

(Photo by Árpád Czapp on Unsplash)

Sebagai individu yang hidup bersama, manusia sudah menjadi sebuah kewajiban dalam kehidupan sehari-hari. Setiap berkomunikasi pasti ada interaksinya, kita perlu bersikap sopan agar kita bisa saling menghormati dan bersikap sopan. yang tidak hanya ada di dunia nyata namun juga ada di dunia maya, salah satunya adalah media sosial. Setiap orang, berapapun usianya, menggunakan media sosial di berbagai platform untuk terhubung dan berkomunikasi. Pengguna dapat mengakses dan berbagi informasi dari seluruh dunia dengan sangat bebas dalam waktu singkat. Dan dengan ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana etika masyarakat dalam menggunakan media sosial. 

 

Meluasnya penggunaan media sosial membawa dampak negatif, salah satunya adalah penyalahgunaan media sosial atau kegagalan pengguna media sosial dalam menaati aturan etika atau kesantunan. Misalnya, ketika mengakses platform media sosial, kita bisa dengan mudah menjumpai konten-konten sensitif, seperti konten yang bertema politik, suku, agama, dan ras. Komentar yang tidak lagi menghormati norma etika yang ada di masyarakat Indonesia. Penyebabnya adalah kurangnya kesadaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjaga etika dalam menggunakan media sosial. Masyarakat Indonesia selama ini merupakan negara yang menjunjung tinggi tingkat kesopanan dan keramahan, terbukti dengan Indonesia menempati peringkat ketujuh dalam masyarakat paling ramah di dunia. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika berinteraksi langsung dengan manusia. Mereka mengucapkan setiap kata dengan lebih hati-hati untuk menghindari cibiran kasar.

 

Namun, itu hanya 1.800 dibandingkan yang terjadi di media sosial. Netizen Indonesia dinobatkan sebagai pengguna internet paling tidak sopan di Asia Tenggara, menurut laporan Digital Civilization Index (DCI). Menurut data yang disediakan oleh Microsoft, tingkat kesopanan di Indonesia telah merosot menjadi 76, dan angka yang lebih tinggi menunjukkan kesopanan yang lebih tinggi. Secara umum moral sering disamakan dengan akhlak, dan orang yang tidak bermoral sering disebut tidak bermoral karena perbuatan dan perkataan yang dilakukan tidak dianggap baik atau buruk, karena menyangkut penilaian baik dan buruk, nilai baik, nilai buruk harus diamalkan dan buruk. nilai-nilai harus dihindari. Penerapan etika dalam menggunakan media sosial harus dilakukan oleh setiap elemen pengguna media sosial, tidak hanya media sosial saja, namun dalam penggunaan internet, penerapan etika menyebarkan juga mencakup komunikasi yang santun.

 

Pentingnya penanaman etika komunikasi sejak dini, karena jika etika bermedia sosial tidak diajarkan sejak dini maka generasi penerus pengguna media sosial tidak akan tahu bagaimana cara beretika di media sosial. Mungkin saat menggunakan media sosial niatnya untuk menghibur diri sendiri, namun akhirnya malah terjebak di balik jeruji besi. Pasal 27 hingga 30 UU ITE mengatur penggunaan media sosial namun hal ini tidak diterapkan dengan baik dan penggunaan media sosial memerlukan komunikasi yang beretika dan peran etika adalah meminimalisir reaksi negatif terhadap postingan. mengirim. Perlunya pengetahuan tentang etika komunikasi dalam menggunakan media sosial dapat membantu mengoptimalkan pesatnya perkembangan komunikasi dan pemikiran dalam penggunaan media sosial.

 

Implementasi etika komunikasi sangatlah sangat penting ditanamkan sejak dini, karena apabila tidak diajarkan etika bermedia sosial sejak dini, maka kedepannya generasi yang menggunakan media sosial tidak mengetahui bagaimana beretika dalam media sosial. Bisa jadi ketika dalam menggunakan media sosial niat hati ingin menghibur diri malah terjebak dalam jeruji besi. Cara dalam bermedia sosial telah diatur dalam undang-undang sebagaimana diatur pada Undang-Undang ITE Pasal 27-30, akan tetapi hal tersebut belum diterapkan dengan baik, etika komunikasi dalam menggunakan media sosial diperlukan, di mana etika berfungsi untuk meminimalisir tanggapan negatif dari postingan yang dikirimkan. Perlunya pengetahuan tentang etika komunikasi dalam menggunakan media sosial yang berguna untuk mengoptimalkan perkembangang komunikasi yang pesat dan pemikiran dalam menggunakan media sosial. Etika dalam menggunakan media sosial harus dapat diterapkan pada setiap pengguna internet di Indonesia, dan disarankan agar setiap instansi dapat memberikan informasi atau pengetahuan mengenai cara menggunakan media sosial dengan benar.

Menyelamatkan Bahasa Betawi: Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik di Jakarta Selatan

Seperti yang kita ketahui, bahasa Betawi saat ini sedang mengalami pergeseran atau hampir masuk ke dalam kategori punah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam artikel “Penemuan Bahasa yang Hampir Punah” yang dimuat di surat kabar Tempo pada 18 Maret 2012, terdapat 756 bahasa daerah di Indonesia. Hal ini diatur dalam UU Pemerintahan Negara No. 22 Tahun 1999, yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah negara bagian untuk menangani bahasa dan sastra. Sekitar 30% bahasa daerah saat ini terancam punah di Indonesia, salah satunya adalah bahasa Betawi. Fenomena kepunahan bahasa daerah di Indonesia nampaknya menjadi isu yang menarik perhatian banyak sarjana, khususnya ahli bahasa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan bahasa daerah yang terancam punah. Tentu sangat masuk akal mengingat Indonesia memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Beberapa bahasa tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan sebagian lagi termasuk dalam rumpun bahasa non-Austronesia (Papua). Terkait hal ini, Sara mencari tau tentang kondisi kesehatan Bahasa Betawi saat ini. Dalam hal ini, Sara, Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Nasional melakukan penelitian guna mencari kebeneran terhadap isu-isu yang telah disebutkan. Dalam penelitiannya, Sara menggunakan dua teori untuk memecahkan masalah ini. Ia menggunakan teori sosiolinguistik dan sosial budaya. 

Dalam kehidupan sosial, tidak mungkin seseorang hidup sendiri tanpa kehadiran atau keterlibatan orang lain. Seseorang mengekspresikan keberadaan, minat, dan pendapat mereka, untuk mempengaruhi orang lain demi keuntungan mereka sendiri, keuntungan kelompok, atau kebaikan bersama. Dalam arti luas, bahasa adalah alat komunikasi. Sosiolinguistik mempelajari bahasa dengan mempertimbangkan hubungannya dengan masyarakat, khususnya dengan penuturnya. Oleh karena itu, jelas bahwa Sosiolinguistik berfokus pada hubungan antara aspek linguistik dan aspek sosial sosiologi (Abdurrahman, 2011). Durkheim mengatakan bahwa budaya, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, memiliki kekuatan untuk menegaskan nilai solidaritas yang dapat diwujudkan melalui partisipasi individu dalam ritual atau budaya, artinya individu berpartisipasi dalam pelestarian dan pemeliharaan budaya tersebut. 

Saat ini masyarakat Betawi hanya tersebar disekitar wilayah Jakarta, seperti Cengkareng, Tanah Abang, Srengseng Sawah dan Cempaka Putih. Nasib bahasa Betawi begitu memprihatinkan sehingga jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan, dikalangan masyarakat Betawi. Linguistik umum melihat bahasa sebagai sistem tertutup, sistem yang berdiri sendiri terlepas dari hubungannya dengan struktur masyarakat. Pada saat yang sama, dalam sosiolinguistik bahasa dipandang sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan struktur masyarakat yang tidak lepas dari karakteristik penutur dan nilai-nilai sosial budaya yang dianutnya oleh penutur itu sendiri. 

Generasi yang lebih dulu mengenal bahasa Betawi harus memperkenalkannya kepada generasi selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan bahasa daerah, yaitu bahasa Betawi. Bahasa Betawi sudah lama tidak digunakan pada aktivitas keseharian. Bahasa Betawi ini hanya digunakan di beberapa kampung tertentu saja, dan digunakan pada saat pementasan budaya. Padahal, seharusnya bahasa Betawi ini tetap terus dijalankan dan disebarluaskan agar diketahui oleh masyarakat Jakarta. Tidak semua orang tahu dan mengerti kosakata bahasa Betawi. Hal tersebut sangat disayangkan. Dahulu, Jakarta bernama Batavia dan dihuni oleh masyarakat Betawi yang tersebar menjadi Betawi Pinggir, Betawi Udik, dan Betawi Tengah. Beribu-ribu kosakata dimiliki oleh bahasa Betawi. Namun, tidak semua orang tahu dan mengerti apa saja kosakata tersebut.

Peneliti mengambil sampel kosakata bahasa Betawi dari kamus bahasa Betawi sebanyak 572 kosakata yang ditulis dan disebar kepada 10 responden. Peneliti meminta para responden untuk mengisi arti dari kosakata tersebut. Hasil menunjukkan bahwa bahasa Betawi benar mengalami kepunahan. Hasil riset menunjukkan dari 10 narasumber, hanya ada 1 orang yang masih menggunakan bahasa Betawi dengan persentase 50%. Hasil riset terlihat jelas bahwa bahasa Betawi benar mengalami kepunahan. Jumlah persentase terkecil mencapai 5% dengan jumlah kosakata hanya 30 saja. Dari hasil riset yang dilakukan, diharapkan kepada masyarakat Jakarta untuk melestarikan bahasa Betawi. Tidak hanya itu, kepada Dinas Pendidikan Kota Jakarta diharapkan untuk mengadakan mata pelajaran bahasa Betawi guna mendidik dan mengedukasi anak-anak sejak usia dini.

Mahasiswa Sebagai Agent of Change dalam Menjaga Kelestarian Budaya di Era Digital dengan Memanfaatkan Modal Sosial Masyarakat

Mahasiswa yang merupakan aset bagi bangsa memiliki kepentingan untuk melakukan  perubahan. Mahasiswa memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dengan mempelajari  berbagai bidang keilmuan dan keterampilan. Mahasiswa merupakan agent of change, yang artinya individu – individu yang melakukan tindakan katalis atau pemicu perubahan yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Juga merupakan individu – individu yang bersemangat dalam mendorong individu lainnya serta memiliki keberanian menantang status quo sebagai upaya perubahan. 

Perubahan yang terjadi pada semua bidang kehidupan menjadi sangat cepat dan signifikan, sehingga perubahan sosial hendaknya sejalan dengan perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Perubahan sosial yang terjadi merupakan hal yang pasti karena tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Agent of change merupakan individu yang membantu dalam melakukan perubahan. Dimana seorang agen perubahan akan menghubungkan objek perubahan seperti inovasi, kebijakan publik, dan lainnya menggunakan sistem sosial untuk melakukan perubahan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi menjadi unsur utama dalam perubahan. Hal ini berkaitan dengan unsur – unsur yang ada di masyarakat yaitu sosial, budaya, ekonomi, serta politik. Sehingga yang menjadi perhatian disini adalah kaitannya dengan budaya. Budaya yang sudah ada sedari zaman nenek moyang perlu diperhatikan akan perubahan – perubahan disekitarnya yang tentu saja akan mempengaruhi kelangsungan budaya tersebut. Mahasiswa dalam hal ini membersamai kebudayaan dalam upaya pelestarian. Mengingat mahasiswa merupakan agen perubahan yang tentunya tidak hanya melakukan perubahan yang sia – sia, tetapi melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan dan pelestarian dari budaya dengan memanfaatkan modal sosial yang ada disekitar mereka alias lingkungan masyarakat.

Berangkat dengan Teori Modal Sosial yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, mahasiswa sebagai pemeran utama dalam implementasinya. Terdapat dua hal yang menjadikan pemikiran Bourdieu menarik banyak orang, yakni terkait usahanya dalam mengatasi permasalahan dikotomi individu – masyarakat, agen – struktur sosial, dan kebebasan – determinisme. Maka pada akhirnya disebut sebagai strukturalisme genetis, strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme strukturalis. Bourdieu mengemukakan konsep utamanya yaitu habitus, modal, dan arena (field) untuk menyingkap dominasi di dalam masyarakat, yakni mencari tahu kepemilikan atau akumulasi kepemilikan modal dari masing – masing anggota masyarakat.

Modal sosial berhubungan dekat dengan habitus yang merupakan sebab – sebab dalam pengganda modal secara khusus modal simbolik. Modal sosial menurutnya direalisasikan melalui hubungan – hubungan dan jaringan hubungan – hubungan yang menjadi sumber daya dengan manfaat untuk penentuan dan reproduksi kedudukan – kedudukan sosial. Modal sosial tersebut telah dipunyai oleh pelaku (individu atau kelompok) yang berhubungan dengan pihak lain yang memiliki kekuasaan. Kebudayaan yang beriringan dengan digitalisasi menjadi perhatian khusus bagi setiap unsur masyarakat. Bahkan mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam kebudayaan tersebut, apalagi mahasiswa merupakan individu yang tentu saja memiliki andil dalam digitalisasi juga. Budaya yang tentu saja merupakan instrumen yang sakral dan dulunya banyak yang tidak mengetahui keberadaannya, tentu menjadi mudah bagi semua individu untuk mengetahuinya sekarang. Hal tersebut dikarenakan media yang berperan langsung dalam penyebarannya, namun yang menjadi kekhawatiran adalah adaptasi – adaptasi dari media terhadap budaya yang kerap kali tidak di filter dengan baik oleh sebagian orang. 

Mahasiswa memiliki power dalam mempengaruhi lingkungannya dengan cepat, apalagi ada media atau teknologi yang mereka bawa kemana saja. Sehingga, suatu keniscayaan bahwa mahasiswa dapat melakukan perubahan hanya menggunakan teknologi. Dengan ini dimaksudkan bahwa teknologi dan peran mahasiswa dapat membawa perubahan dan perbaikan sebagai upaya pelestarian kebudayaan untuk mengarah pada dampak positif. Tentunya peran mahasiswa bukan sekedar melalui teknologi, namun peran secara fisik dalam memberikan arahan bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat dalam bidang sosial bahkan ekonomi sekalipun.  

PUBLIKASI JURNAL PSSN “Implementation of DKI Jakarta Provincial Regulation Number 4 of 2015 Concerning the Preservation of Betawi Culture (Case Study: Education Curriculum)”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara mengadakan riset kembali di Setu Babakan.

Berdasarkan Perda DKI Jakarta No 4 Tahun 2015tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi dalam kurikulum pendidikanmasih belum adanya pendidikan bahasa Betawi. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat Betawi yang tidak peduli bahkan kurang dalam melestarikan bahasa Betawi. Beberapa solusi yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah tersebut yaituMenyusun rencana induk pelestarianbahasa dan sastra Betawi. Tujuan: melakukan tinjauan studi pustakayang menelaah implementasi Perda Provinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015. Metode: studi pustaka ini menggunakan metode narrative review dengan menganalisis berbagai jurnal dari database online Garudadan Google Scholaryang berkaitan denganPerda Provinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2015. Kesimpulan: Kurangnya kesadaran pejabat Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat akan pentingnya meneliti dan mensosialisasikan perlindungan bahasa Betawi.

Kota utama Indonesia, Jakarta adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis dan budaya. Nilainilai budaya daerah memainkan peran penting dalam sejumlah budaya nasional dan harus dilindungi undang-undang. Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi, khususnya bahasa Betawi, belum memenuhi aspek budaya, sehingga belum ditambahkan dalam kurikulum pendidikan muatan lokal. Untuk mencegah kepunahan bahasa Betawi khususnya di Jakarta, pemerintah khususnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta saat ini sedang memikirkan bagaimana menerapkan peraturan daerah yang memungkinkan bahasa Betawi diajarkan di sekolah-sekolah (Mustofa et al., 2020). 

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi Untuk Bahasa Betawi belum sepenuhnya mengimplementasikan seluruh aspek penerapan budaya bahasa dan sastra ke dalam kurikulum pendidikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi. Menurut penulis, hal ini mengakibatkan penggunaan bahasa dan sastra Betawi sangat terbatas di tengah pesatnya urbanisasi, pertumbuhan penduduk, percampuran budaya, akulturasi budaya, percepatan pembangunan Jakarta, dan westernisasi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat Betawi. Selain itu, bahasa Betawi tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan konten. budaya lokal, yang menyebabkan banyak generasi muda tidak mengenal bahkan melupakan bahasa Betawi sebagai generasi budaya lokal (Febriansyah, 2022).
 
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis tentang perlindungan bahasa Betawi oleh pemerintah DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang perlindungan budaya Betawi, ditemukan bahwa pemerintah daerah DKI Jakarta sangat masih bekerja keras untuk melestarikan bahasa dan sastra. Betawi dalam tahap koordinasi dengan pemangku kepentingan dari masyarakat Betawi dan dinas terkait yang bertanggung jawab untuk melaksanakan atau menegakkan Perda DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015. Memantau dan mengevaluasi pelestarian bahasa dan sastra Betawi dengan menambahkan berbagai tugas dan bekerja sama dengan berbagai elemen pemerintah DKI Jakarta, pemangku kepentingan, organisasi budaya dan masyarakat Jakarta secara keseluruhan. Berbagai inovasi baru juga dilakukan untuk mendukung pelestarian bahasa dan sastra Betawi guna memasukkan bahasa Betawi ke dalam kurikulum pendidikan muatan lokal.Kurangnya kesadaran pejabat Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat akan pentingnya meneliti dan mensosialisasikanperlindungan bahasa dan sastra Betawi, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan tentang perlindungan bahasa dan sastra Betawi antara pejabat dinas dan masyarakat. Jakarta. Untuk itu perlu disikapi secara serius oleh pemerintah setempat untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan bahasa Betawi yang sampai saat ini belum masuk dalam kurikulum pendidikan padahal sangat diperlukan karena pemuda atau pelajar merupakan kunci untuk mencapai retensi di tingkat sekolah dasar. dan tingkat pendidikan menengah bahasa Betawi, pemuda menjadi pewaris generasi penerus, bangsa dan budaya agar dapat bertahan hidup.RekomendasiMelalui penelitian ini diharapkan pembelajaran bahasa Betawi dapat diterapkan di setiap sekolah, baik di sekolah dasar maupun menengah. Menyusun rencana induk pelestarian bahasa dan sastra Betawi yang memuat rencana aksi khusus jangka pendek, menengah, dan panjang serta rencana strategis dalam rangka pelestarian bahasa dan sastra Betawi. Meningkatkan pelaksanaan perlindungan bahasa dan sastra Betawi yang meliputi unsur Pasal 9 Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Budaya Betawi Pendidikan, Pelestarian, Pengembangan, Pemanfaatan, Pemeliharaan dan Pembinaan, Pemantauan dan evaluasi melalui aparat atau aparat penegak hukum Perlindungan sekaligus terhadap bahasa dan sastra Betawi. Dan diharapkan pemerintah daerah tetap memperhatikan budaya Betawi, khususnya bahasa Betawi, untuk melestarikannya dan mencegah ancaman kepunahan.
 
 

PUBLIKASI JURNAL PSSN “The Effect of Service Quality and Promotion on Visiting Decisions at Betawi Cultural Villages”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara kembali melakukan riset di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan. Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan dan promosi terhadap keputusan berkunjung di Perkampungan Budaya Betawi. Penelitian ini menganalisis adakah pengaruh pelayanan dan promosi terhadap keputusan berkunjung calon wisatawan. Adapun metode yang dilakukan penulis yaitu metode deskriptif kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan tahap wawancara kepada salah satu kepala pengelola kawasan perkampungan budaya betawi. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pengelola perkampungan budaya betawi telah melakukan pelayanan dengan prima yaitu dengan melakukan pengunjung dengan ramah, memperlengkap segala fasilitas, tidak memungut biaya masuk, serta memberikan rasa aman dan nyaman dengan pelayanan dari para pegawainya. Selain itu promosi yang dilakukan cukup menarik yaitu dengan menggunakan media sosial.

PBB atau Perkampungan Budaya Betawi pernah mengalami penurunan pengunjung pada saat pandemi covid-19. Karena masyarakat terpaku dengan virus yang berbahaya, jadi jumlah pengunjung PBB menyusut. Selain itu, UPK PBB juga menerapkan sistem perbatasan. Jadi, pengunjung yang datang dibatasi setiap harinya. Dengan adanya peristiwa tersebut, maka UPK PBB membuat strategi untuk menarik keputusan pengunjung. Strategi yang dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan yang baru kepada calon pengunjung. Yang di mana, harapan dari adanya strategi ini adalah dapat menghasilkan kepuasan pengunjung. Tidak hanya itu, harapan lain adalah mereka juga bisa memberikan informasi kepada masyarakat yang ingin berkunjung ke sana.

Adapun pelayanan yang sekarang dilaksanakan oleh pihak UPK Perkampungan Budaya Betawi ya itu dengan menerima semua tamu tanpa pengecualian, petugas disanajuga sangat ramah mulai dari penjaga pintu masuk yang selalu mengarahkan para tamu, memberikan service yang baik kepada pegunjung, fasilitas yang memadai seperti misal toilet, mushola, atau tempat makan. Serta mereka membuat strategi dengan mengadakan tiket masuk secara gratis, mengadakan layanan hiburan masyarakat, dan layanan edukasi kebudayaan. Strategi ini dilakukan untuk mengembalikan lagi para pengunjung PBB. Kondisi pengunjung PBB pada saat ini berubah drastis. PBB sudah banyak didatangi lagi oleh para pengunjung.

dapun beberapa cara yang perlu dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan agar ideal dan dapat mempengaruhi keputusan berkunjung wisatawan yaitu melalui indikator kualitas pelayanan :

  1. Realibility (Keandalan)
  2. Responsive (Ketanggapan)
  3. Tangible (Berwujud)
  4. Empathy (Empati)
  5. Assurance (Jaminan)

UPK PBB telah menerapkan strategi promosi dan pelayanan yang baik, sehingga dapat memulihkan kembali jumlah pengunjung PBB. Kualitas pelayanan dan promosi di Perkampungan Budaya Betawi sangat memberikan pengaruh besar terhadap keputusan para pengunjung. Dengan adanya strategi promosi dan pengelolaan yang baik, calon pengunjung akan tertarik dengan lokasi dan seluruh bagian yang ditawarkan. Dari penjelasan pihak pengelola perkampungan budaya betawi ini menurut penulis sudah cukupmenjanjikan bagi para calon pengunjung untuk mereka datangi. Keramahan para pekerja, kerapihan penampilan para pekerja, dan fasilitas yang diberikan sudah penulis rasakan sendiri. Adanya peningkatan kualitas pelayanan ini adalah salah satu cara untuk pihak UPK Perkampungan Budaya Betawi melestarikan kebudayaan-kebudayaan betawi sebagai salah satu suku yang fenomenal di Ibu Kota ini, peningkatan tidak hanya dari pelayanan saja tetapi dari segi infrastruktur dan sara prasarana sedang dalam tahap perkembanganlebih lanjut guna dapat menarik calon pengunjung lebih banyak. Tidak lepas dari itu saja, dalam sesi wawancara pengelola menjelaskan bahwa mereka akan menyaring para umkm disana agar keseluruhan penjual itu menjual apapun yang bercirikhas betawi. Ini dilakukan agar memperkental unsur kebudayaan betawi di kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Pembuatan sekolah kesenian juga digadang-gadangkan akan dibentuk dalam beberapa tahun kedepan oleh pihak pengelola.

Jurnal ini dapat diakses melalui link https://journal.formosapublisher.org/index.php/fjsr/article/view/3516/3146

 

PUBLIKASI JURNAL PSSN “The Existence of Palang Pintu Culture in the Opening Procession of Betawi Traditional Weddings (Case Study: George Herbert Mead’s Symbolic Interactionism)”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara melakukan riset kedua di Setu Babakan. Kali ini, riset yang dilakukan mengenai kebudayaan adat Betawi.

Riset ini menganalisis bagaimana eksistensi kebudayaan palang pintu Betawidan pemahaman makna penggunaan palang pintu dalam acara pernikahan adat Betawi.Tujuandari penelitian ini adalah untuk mencari strategi pemulihan budaya palang pintuadat Betawi.Teori yang digunakan adalah teori interaksi simbolik George Herbert Mead. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode penelitian kualitatif Cresswell, J.W. Sifatpenelitian ini adalah deskriptif.Dengan menggunakan metode kuisionersebagai pengumpulan data.Hasil yang diperoleh adalah penjelasanbagaimana eksistensi kebudayaan palang pintu sebagai pembuka dalam acara adat Betawi.Serta bagaimanastrategi yang dapat dilakukan untuk pemulihan budaya Betawi yang hampir punah.

 
Kelompoketnis Betawi memiliki keragaman bahasa, budaya, dan kulturyang luas. Keberagaman budaya ini menimbulkan perspektif, interpretasi, danpemahamanyang berbeda tentang penduduk asli Betawi. Salah satu budaya dan siklus kehidupan yang sangat penting dalam masyarakat Betawi adalah upacara perkawinan. Upacarasendirididefinisikan sebagai perilaku resmi yang dilakukan untuk menandai peristiwayang tidak diarahkan pada aktivitas kegiatan sehari-hari, melainkan terkait dengan kepercayaan di luar kendali manusia. Oleh karena itu, padasetiap pernikahankeduamempelai tampil dengan cara yang istimewa, lengkap dengan rias wajah, sanggul, dan gaun sesuai dengan keutuhan adat pranikah dan pascanikah(Purbasari, 2010). Karena seseorang sudah memulai ritual selama masa transisi, sejak saat ituia mengambil hak dan kewajiban penuh terhadap masyarakat dan budayanya. Ia mulai diikutsertakan dalam acara-acara masyarakat, khususnya dalam upacara-upacara adat, sebagai suami atau istri. Adat istiadat merupakan suatu hal yang lazim dalam suatu negeridan berfluktuasi dengan keadaan masyarakat (Yaniek Ichtiar Ma’rifa, 2019).
 
Dari 50 responden data yang diambil dinyatakan terdapat 30 orang yang menggunakan palang pintu dalam acara pernikahannya. Diantara 30 orang tersebut ada2 orang yang bukan masyarakat asli. Hal ini berarti budaya palang pintu Betawi tidak hanya digunakan oleh masyarakat Betawi asli saja. Tetapi, bisa juga oleh masyarakat pendatang atau suku lainnya. Tentunya hal ini memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai makna penggunaan palang pintu dalam pembuka acara pernikahan. Bedasarkan penjelasansebelumnya diketahui bahwa ada satu tradisi yang mirip dengan Palang Pintu, yaituberebutDandang. Perbedaannya ada penambahan skenario perebutan dandang dari tembaga untuk menentukan siapa yang menang. Yang membawa dandang adalah pihak pria bersamaan dengan seserahan lainnya. Pada intinya, palang pintu Betawi tengah dengan Betawi timur ini memiliki arti mendasar yang sama. Hanya ada penambahan makna dalam bentuk media dandang. Dandang tembaga melambangkan kekuatan dan kemakmuran. Jika dilihat dari sudut demografis, argumen tentang dandang dipengaruhi oleh adat budaya Sunda. Hasil kuisioner menunjukan bahwa masih banyak masyarakat asli maupun pendatang belum memahami makna dari palang pintu tersebut. Bedasarkan diagram pada analisis data sebanyak 32% masyarakat tidak memahami makna dari palang pintu tersebut, dan sebanyak 68% masyarakat memahami maknanya. Tentunya, masing-masing mereka memiliki pendapat yang berbeda mengenai maknapalang pintu tersebut. Sebanyak 34 responden yang memahami makna palang pintu ini terdiri dari 19 masyarakat asli Betawi dan 15 orang diluar masyarakat Betawi. George Herbert Mead mendefinisikan interaksionisme simbolik sebagai gagasan bahwa interaksi sosial terjadi sebagai akibat dari penggunaan simbol-simbol yang bermakna. Simbol-simbol tersebut dapat menimbulkan asosiasi yang dapat menimbulkan interaksi antara orang lain (Alisa, 2021).
 
Tradisi Palang Pintu merupakan salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Betawi Jakarta. Tradisi ini sudah menjadi bagian dari prosesi pernikahan adat Betawi sejak zaman nenek moyang kita. Melalui kajian ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran generasi mendatang untuk menjaga keaslian dan kekayaan budaya tradisional agar tidak punah atau tergerus oleh seni rupa progresif maupun media modern. Dengan demikian, seni budaya Betawi akan dikenal luas dan akan terus hidup dalam proses modernisasi yang terus berkembang. Inisiatif utama yang harus ditempuh antara lain, upaya pelestarian budaya melalui perencanaan metodis dan strategi pengelolaan, pengemasan produk budaya yang menarik dan relevan, serta sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat di tingkat nasional dan internasional guna melestarikan budaya dan memajukan masyarakat.
Ada beberapastrategi yang dapat dilakukan untuk memulihkan kebudayaan Palang Pintu adat Betawi ini:
  • Promosi kegiatan
  • Mengembangkan Pendidikan budaya Betawi
  • Mengadakan festival kebudayaan setiap tahun
Bedasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa makna Palang Pintu dalam pernikahan Betawi ada dua, yaitu ketika seorang laki-laki akan menikah dia harus bisa mengurus istri dan anaknya, karena laki-laki di rumah adalah kepala keluarga dan harus melindungi keluarganya dari bahaya. Oleh karena itu, mempelai laki-laki diibaratkan sebagai laki-laki yang harus mahir dalam ilmu silat. Palang Pintu merupakan adat yang berasal dari zaman dahulu dan digunakan untuk menilai ilmu mempelai pria.Orang Betawi menggunakannya untuk mengukur seberapa serius calon mempelai pria menjalani upacara pernikahan adat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan budaya Betawi tetap ada di sekitar lingkungan Jakarta, meskipun belum sepenuhnya meratadi kalangan masyarakat asli dan pendatang. Disadari atau tidak, globalisasi dan maraknya multikulturalisme di ibu kota saat ini menggerus eksistensi budaya Betawi. Oleh karena itu, untuk melestarikan nilai-nilai budaya Betawi yang diwariskan nenek moyang, hal ini perlu diantisipasi sedini mungkin dengan solusi yang tepat untuk mempertahankan budaya tradisional Betawi. Ada beberapa strategi untuk melestarikan dan memulihkan budaya Palang Pintu Betawi, seperti memasukkan unsur budaya dalam setiap kegiatan, mengadakan pameran budaya Betawi, mengekspor karya seni, melakukan promosi kegiatan, mengembangkan pendidikan budaya Betawi, dan mengadakan festival kebudayaan setiap tahun.
 
 

 

 

PUBLIKASI JURNAL PSSN “Health Vitality of the Betawi Language in the Future in Jakarta: A Sociolinguistic Study”

Pusat Studi Sosiobudaya Nusantara telah melakukan riset di Setu Babakan. Telitian ini menganalisis penggunaan bahasa Betawi di wilayah Jakarta. Tujuannya adalah untuk mengetahui vitalitas kesehatan bahasa Betawi di waktu yang akan datang, faktor penyebab bahasa Betawi terancam punah, dan solusi untuk menjaga eksistensi bahasa Betawi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Sosiolinguistik, dan teori pendukung Sosiologi Budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix metode, yaitu langkah yang memadukan dua bentuk penelitian yang telah ada sebelumnya (kualitatif dan kuantitatif). Penelitian ini menggunakan teknik observasi dan kuesioner (angket). Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dengan observasi dan melibatkan pencatatan perilaku subjek. Teknik kuesioner (angket) adalah daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang diselidiki. Hasil yang diperoleh adalah perhitungan penggunaan bahasa Betawi saat ini.

Seperti yang kita ketahui saat ini, bahasa Betawi terlihat sudah hampir mencapai difase “punah”. Karena, sudah jarang sekali kita menemukan seseorang atau kelompok yang menggunakan bahasa Betawi secara intens. Namun, ada lagi praanggapan yang menyatakan bahwa bahasa Betawi belum dinyatakan “punah”, karena masih banyak yang menggunakannya. Di Jakarta, sudah banyak sekali budaya-budaya asing yang masuk dan meracuni para pemuda penerus budaya. Hal ini, menyebabkan terjadinya penyimpangan budaya yang dapat mengakibatkan pengikisan bahkan sampai kepada kepunahan suatu budaya itu sendiri. Sebagai bangsa yang bernasionalisme dengan mencintai budaya sendiri, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan budaya tersebut.

Pada kesempatan kali ini, peneliti melakukan observasi di tiga wilayah Jakarta, yaitu Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan. Hasil penelitian membuktikan bahwa bahasa Betawi masih sering digunakan di wilayah tersebut. Dari 26 responden, 21 orang masih sering menggunakan bahasa Betawi. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan 80,8% masyarakat Jakarta masih sering menggunakan bahasa Betawi. Masyarakat yang tidak sering atau jarang menggunakan bahasa Betawi ditunjukkan dalam persentase angka sebesar 19,2%. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Betawi di Jakarta belum dikatakan “punah”, karena masih ada penutur yang menggunakan bahasa tersebut. Ternyata, setelah melakukan observasi, penggunaan bahasa Betawi ini masih sering digunakan di dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, penutur yang seperti ini, bertempat tinggal disekitar orang-orang yang masih kental dengan budaya. Dalam arti, mereka tinggal di dalam perkampungan Betawi atau sebagainya. Jadi, mereka akan terus mengikuti alur budaya yang diterapkan dalam lingkungannya. Ada pula yang menggunakannya pada saat bergaul saja. Hal ini dilakukan karena mereka sering menggunakannya pada saat bertemu dengan kerabat sebayanya. Mereka menggunakan bahasa Betawi agar terlihat asik, karena pembawaan bahasa Betawi ini sangatlah santai. Adapula masyarakat yang jarang menggunakannya. Biasanya, penutur yang seperti ini merasa bahwa bahasa Betawi ini sama seperti bahasa Indonesia, dan mereka lebih terbiasa menggunakan bahasa gaul.

 
Kesimpulannya adalah kondisi vitalitas kesehatan bahasa betawi pada waktu yang akan datang masih bisa dikatakan sehat. Karena, semakin berjalannya waktu, bahasa Betawi ini akan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Bahasa daerah tidak akan punah jika masih ada penutur yang bisa mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan para tokoh betawi di perkampungan budaya Betawi Setu Babakan. Para penutur asli inilah yang akan mewariskan budaya Betawi melalui berbagai cara, seperti penampilan budaya Betawi, ekskul bahasa Betawi, dan lain sebagainya.